Reaktualisasi Perpustakaan

perpustakaan

Kalau kita ke perpustakaan biasanya suka ada kata-kata mutiara, kata penggugah ataupun motivasi yang terkait dengan buku dan minat  baca, penyampaian pesan melalui kata-kata tersebut tentu tidak sepenuhnya salah karena memang perpustakaan sebagai tempat tersimpannya berbagai pustaka. Misalnya diksi “Buku Jendela Dunia”, Buku sebagai Gudang Ilmu, dst, sering terpajang pada medium-medium yang terhubung dengan buku dan perpustakaan. Ada yang menarik ketika berada dilingkungan perpustakaan SMA Pasundan 8 Bandung, sebelum masuk ke ruangan sebuah kalimat “Sebaik-baik Teman Duduk adalah Buku” terpasang pada dinding luar. Tentu kalimat itu ditujukan tidak hanya kepada guru atau siswa yang mengunjungi perpustakaan tetapi kepada siapa saja yang membacanya. Dalam kalimat tersebut setidaknya ada dua pesan yang ingin disampaikan, pertama pengunjung yang mendatangi ke perpustakaan bisa duduk nyaman dengan ditemani buku-buku yang ada. Kedua kalimat ”Sebaik-baik Teman Duduk adalah Buku” bisa juga ditafsirkan sebagai otokritik terhadap kondisi sosial kemasyarakatan saat ini. Kehadiran gadget ataupun android yang serba digital secara perlahan telah mengesampingkan peranan teks yang terdapat dalam berbagai bentuk fisik buku. Kalau yang dimaksud dengan buku itu berupa teks ilmu pengetahuan yang terdapat dalam lembaran kertas,maka memang saat ini kondisinya sedang berada dipersimpangan jalan. Buku itu sedang mengalami senjakala yang berhadapan dengan “maut” dan akan segera digantikan dengan teknologi dalam genggaman tangan. Bagaimana pada saat ini hampir semua orang menggunakan telepon selular dalam keadaan apapun sehingga  sulit menemukan orang membaca buku ketika menunggu waktu.

Kata “Sebaik-baik Teman Duduk adalah Buku” yang terpasang pada dinding perpustakaan itu sebenarnya nilai normatif yang bermakna himbauan, ajakan ataupun kritik. Nilai-nilai itu semuanya tergantung dengan kultur membaca yang dibangun oleh lingkup sekolah secara sistematis dan terukur, dan untuk membangun kultur membaca itu memang bukan perkara mudah, tetapi menjadikan perpustakaan sebagai tempat yang menarik untuk dikunjungi oleh pembaca dari kalangan guru, siswa-siswi SMA Pasundan 8 sangat mungkin dikondisikan. Modal dasar yang harus dimiliki adalah kreatifitas serta kecintaan terhadap buku, meskipun memang tidak cukup dengan modal itu saja untuk mengelola perpustakaan menjadi tempat yang menyenangkan, apalagi minus inovasi-inovasi tentu akan banyak menemukan kendala.  Dari mulai penyusunan kelengkapan administratif,  spesifikasi buku, pemutahiran dan pemilahan buku, sampai proses digitalisasi buku juga harus menjadi perhatian, karena untuk zaman sekarang mau tidak mau semuanya harus terkoneksi dengan jaringan digital yang memudahkan publik mengaksesnya. Pentingnya pemutahiran dan digitalisasi buku-buku itu tidak hanya memudahkan untuk para pembaca milenial yang akrab dengan dunia digital tetapi juga sebagai promosi yang efektif eksistensi sekolah. Tentang makna eksistensi ini mengingatkan kita pada kisah “Lary Page salah seorang pendiri Google yang mempunyai impian sangat dahsyat sesaat setelah mendirikan Google pada tahun 1998 , dia berambisi mendigitalkan buku yang ada di dunia agar bisa diakses para pengguna mesin pencari ciptaannya. Niatan itu mulai direalisasikan pada 2002 dan dilakukan secara rahasia peluncurannya pada oktober 2004 saat Frankfurt Book Fair , mereka memperkenalkan google Print”. (lihat Google Gutenberg, hal : 49) . Sejak itu manusia tinggal klik “mbah” google dan langsung bisa menikmati apa saja yang terkait dengan buku dengan berbagai jenis genre nya.

Artinya walaupun saat ini pelayanan perpustakaan sudah baik tetapi kedepan langkah-langkah kearah yang jauh lebih baik harus bisa berjalan secara bertahap untuk proses reaktualisasi perpustakaan , dan tetap tidak melupakan misi “ Sebaik-baik Teman Duduk adalah Buku” yang menjadi kalimat pemggugah ketika akan masuk perpustakaan Pasundan 8……kuy ah ke perpustakaan.    

Penulis, editor artikel pada website Pasundan 8 Bandung