Setelah relatif lama tidak ada agenda touring pasca perjalanan ngaleut ka sanghyang heuleut pada medio Mei 2018, pekan ini tepatnya hari Jumat 6 Maret 2020 komunitas touring Baraya SMA Pasundan 8 kembali melakukan perjalanan menjelajah curug. Didasari kerinduan untuk perjalanan itu, kami memutuskan touring kembali, adapun tempat yang dituju adalah Leuwi Hejo/Curug Lieuk di wilayah Kab.Bogor. setelah sebelumnya melihat informasi dari youtube perihal curug dengan air yang bening serta alam yang eksotis ini. Hingga pada hari H/Jum’at yang ikut dalam touring ini adalah : ketua baraya Herman, indra prayana , lalu ada kawan Eka Kartiwa, Yusrizal, Indra Bekti, Muslim, Vindy, Dedi Mulyana, Danis, dan Abah Nandi. Untuk nama terakhir suatu “kejutan” bisa ikut karena sebelumnya (belum) sempat ikut. Sekitar jam 15.30 kami berangkat dengan menggunakan 8 kuda besi yang berbeda dari titik kumpul sekolah menyusuri jalanan, Sukajadi, Sarijadi, Ciwaruga, Cimahi, dengan diiringi rintikan hujan. Sekitar Padalarang kawan Yusrizal bergabung dan perjalananpun dilanjutkan untuk beristirahat disekitar jembatan Rajamandala menikmati es cingcau yang menyegarkan. Sebelum-sebelumnya ketika ke Ujung Genteng dan Geopark Ciletuh juga berhenti di tempat yang sama, jadi ada semacam kewajiban berhenti ditempat ini untuk rehat sejenak. Perjalanan dilanjutkan dengan memacu kuda besi kami masing-masing dengan kecepatan standar, tetapi ketika memasuki jalan yang lengang kecepatan sering dimaksimalkan sehingga untuk motor lama seringkali ketinggalan meskipun diantaranya ada motor berkekuatan helikopter.
Sekitar jam 7.30 malam kami tiba dan singgah di rumah kawan Danis daerah Warung Kondang Cianjur untuk rehat dan melepas malam. Kami beristirahat dipelataran sambil selonjoran sebelum tuan rumah mempersilahkan kami untuk makan terlebih dahulu, Rupanya kedatangan kami mungkin sudah diberitahukan sebelumnya sehingga keluarga kawan Danis telah menyiapkan makan malam. Setelah dipersilahkan kami pun bergegas untuk mensyukurinya, dan ini dirasa seperti makan besar dengan menu yang mantap. Yah bisa dibayangkan dengan perut keroncongan kami dihadapkan dengan ikan mas goreng khas cianjur yang kesohor, semur jengkol kenyal dengan belepotan bumbu kecoklatan, deretan ikan peda, sambel serta lalaban dan tidak ketinggalan buah-buahan sebagai penutup makan. Tanpa berlama-lama dengan diprakarsai oleh kawan Dedi Mulyana, sedangkan yang lain tanpa disuruhpun langsung mengikuti untuk melahap makanan tersaji, dengan penuh khusyu kami menikmati setiap suap demi suapnya. Kawan Herman dan Eka yang biasa makan “secukupnya”, kali ini seperti tidak biasa “secukupnya”, mereka seperti memaksimalkan kelahapan makannya. Sedangkan kawan yang lain kurang saya perhatikan hihi….
Setelah makan malam yang maknyuss itu, sebagian dari kami mengisi waktu dengan bermain kartu remi. Permainan yang sudah ada sejak berabad-abad lalu. Konon permainan ini muncul pertama kali di Cina serta Hindustan pesisir Asia Selatan pada abad ke 8, sedangkan kapan tepatnya masuk ke Indonesia/Nederlandsche Indie tidak bisa dipastikan. Permainan ini biasanya berbanding lurus dengan sistem taruhan atau judi, taruhan biasanya tidak hanya berbentuk uang tetapi bisa juga dalam bentuk yang lainnya. Dalam disertasinya James R Rush ahli sejarah yang melakukan penelitian tentang opium di jawa pada era 1860 – 1910, menyinggung bentuk taruhan ini. Orang-orang Tionghoa dulu disamping menghisap candu juga bermain judi dengan taruhan tidak hanya uang, tetapi juga bisa jasa pelacuran sampai ke anak bini bisa ditaruhkan.
Sedangkan kami bermain kartu hanya untuk hiburan semata, meskipun dengan nada bercanda ayahnya kawan Danis tidak melarang kalau ada taruhan juga ” sok weh bari duitan oge” ungkapnya diiringi tawa kami semua. Bapaknya yang komunikatif dan sedikit “ground” dalam berbicara berbeda terbalik dengan anaknya Danis yang tenang dan tidak banyak bicara, ini seperti menjungkirkan peribahasa yang menyatakan “buah jatuh tidak akan jauh dari pohonnya” seharusnya “buah jatuh terkadang jauh dari pohonnya” meskipun tetap dari pohon yang sama hihihi…
Setelah tidur secukupnya, sabtu pagi kami bergegas untuk melanjutkan perjalanan yang lebih panjang menuju lokasi tentu setelah sarapan nasgor plus ayam goreng sajian tuan rumah, thank you for everything bro Danis. Sekitar jam 8.00 pagi kami bergerak minus kawan Herman yang pulang duluan ke Bandung. Dari arah Warung Kondang kami menyusuri jalan dengan hamparan sawah ke arah terminal Pasir Hayam untuk selanjutnya kami mengarah ke kanan dengan tancap gas saling menyahut antar penunggang kuda besi. Setelah hampir dua jam perjalanan kami sedikit tersendat disekitar daerah Girijaya Cileungsi dikarenakan longsor yang memutus ruas jalan. Untuk kendaraan roda 4 sudah jelas tidak bisa melintas, sedangkan untuk roda 2 diperlukan kehati-hatian yang ekstra. Disamping jalanan yang menurun juga longsoran tanah membuat jalan semakin licin. Warga sekitar yang bahu membahu mengatur dan mendorong kalau terjadi slip dan kecelakaan. Menurut penuturan warga sekitar yang kami singgahi, longsor terjadi pada malam minggu kemarin itu akibat rusaknya alam diatas bukit dikarenakan aktifitas penggalian tanah untuk kepentingan sebuah pabrik yang dimiliki oleh perusahaan Korea. Kondisi seperti ini banyak terjadi di lain tempat juga dan seringkali luput dari tindak pidana karena perusahaan sering berkelit merasa memiliki izin amdal (analisis mengenai dampak lingkungan) yang dikeluarkan pihak terkait.
Setelah melewati jalan terputus tadi, perjalanan dilanjutkan kearah jalan desa Sukamakmur kab.Bogor dengan melintasi Gunung Batu yang menjulang ditengah hamparan lainnya. Meski kawan Indra Bekti terus mengaktifkan GPS Google yang terkadang tidak akurat, dengan menanyakan langsung ke setiap orang ternyata jauh lebih efektif. Sekitar jam 11.15 siang kami tiba perbatasan desa Karang Tengah dan Cibadak lokasi yang tidak terlalu jauh dengan tempat yang menjadi tujuan. Dari perbatasan desa kurang lebih 15 menit akhirnya sampai dilokasi. Setelah didata dan pembayaran tiket masuk, kami pun memarkirkan kendaraan untuk selanjutnya perjalanan harus ditempuh dengan jalan kaki sekitar 30 menitan, menaiki tanjakan dengan anak-anak tangga yang tinggi. Dan itu luar biasa berat, kawan Vindy yang belum nikah saja terlihat kepayahan, lah apalagi kami yang banyak makan asam gula haha…(apa hubungannya dgn sudah nikah yah vin …hihihi). Ada kemauan tentu ada jalan hingga akhirnya kami pun sampai di Curug Leuwi Hejo.
Penamaan Leuwi Hejo atau oleh masyarakat sekitar seringkali disebut Curug Bengkok, dikarenakan airnya sangat jernih dengan warna kehijauan. Curug ini merupakan hulu dari aliran sungai Cileungsi yang membelah Bogor. Sebagaimana tempat yang memiliki aliran air curug atau leuwi selalu beredar kabar mistis yang disekitarnya, begitupun di tempat ini dari mulai penemuan mayat misterius, batu yang tiba- tiba bergerak sehingga membahayakan pengunjung dll. Tetapi kami hanya ingin menikmati keindahannya, merasakan jernihnya air dingin yang menusuk tulang, berenang dan meloncat dari tebing-tebing. Kawan Yusrizal, Indra Bekti, Muslim yang notabene bisa berenang bergantian loncat ke dalam air deras dengan kedalaman 4-5 meter, sedangkan untuk yang tidak bisa berenang seperti kawan Eka dan Vindy menggunakan melampung biar lebih save, tetapi yang lebih membahagiakan kami adalah ketika kawan Dedi Mulyana meloncat dari ketinggian tebing. Coba bayangkan tidak bisa berenang, tidak pakai pelampung dengan bobot yang lebih (untuk kalimat ini cukup dibayangkan aja yah hhaha…).
Setelah puas memanjakan tubuh dengan berenang disekitar leuwi, sekitar pukul 3.00 sore kami beranjak untuk pergi, sebelumnya mampir terlebih dahulu di warung tenda disepanjang jalur curug untuk melaksanakan ibadah “makan mie rebus” berjamaah. Sekitar pukul 4.00 kami bergegas meninggalkan lokasi untuk kembali ke Bandung, kali ini rute yang dilalui berbeda dengan rute sebelumnya dengan belok kiri kearah sentul, menyusuri jalanan kampung yang terkadang terjal, bergelombang serta kecil. Tetapi entah karena tidak tahu arah atau pemandu GPS nya yang kurang tepat, justru jalan ini semakin dirasa semakin jauh dan memutar. Hingga jam 6 sore kami masih disekitar Polsek Cisarua Bogor, itu berrarti sekitar -+ 3 jam an lagi untuk sampai Bandung kalau jalanan lancar. Setelah disepakati titik temu di Cianjur, kami pun memacu kendaraan masing-masing menerabas Cisarua, Cipanas, Ciganea untuk terus sampai ditempat penjualan oleh-oleh khas Cianjur. Setelah istirahat, solat dan sedikit belanja kami kembali melanjutkan perjalanan dari Cianjur ke Bandung dan sekitar jam 10 sampai jam 10.30 malam kami sudah sampai di rumah masing-masing. Tentu badan sedikit terasa cape, tetapi itulah yang harus dibayar untuk sebuah kebersamaan dalam menikmati jelajah curug sebagai tadabur alam. Sampai jumpa di jelajah curug berikutnya.
Salam Baraya …tetap Touring…
Penulis, Juru tulis komunitas Baraya Pasundan 8 Bandung