Setiap memasuki tahun ajaran baru semua instansi pendidikan (sekolah) berlomba-lomba mencari calon peserta didik guna memenuhi kuota yang tersedia. Promosi sekolah mulai dilakukan dengan berbagai cara dan diberbagai tempat yang tersedia sebagai ajang untuk menampilkan semua kualitas dan standar yang dimiliki sekolah masing-masing dengan harapan dapat menarik perhatian masyarakat sehingga menjadi minat untuk menitipkan anak-anaknya sebagai peserta didik. Terkait dengan promosi ini seringkali sekolah melakukannya dengan jor-joran yang membuat iklim persaingan antar sekolah menengah menjadi kompetitif. Tak terkecuali pada era pandemi covid 19 sekarangpun persaingan untuk membuka Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) tahun pelajaran 2021-2022 menjadi orientasi utama terlebih untuk sekolah-sekolah swasta.
Meskipun belum secara resmi dibuka pendaftaran tetapi melakukan promosi ataupun iklan harus gencar dilaksanakan melalui berbagai medium, baik itu dalam media cetak, elektronik, brosur ataupun berupa spanduk-spanduk yang terpajang. Kesigapan sekolah dalam memperoleh peserta didik baru sudah menjadi keharusan, apalagi di era kompetitif sekarang tidak bisa dipungkiri persaingan antar sekolah untuk mendapatkan sebanyak-banyaknya peserta didik menjadikan sekolah mengarah pada semacam “industri pendidikan” yang bertumpu pada kekuatan kapital (modal) dan kapital ini pula yang dalam konteks PPDB akan memetakan sekolah pada dua pilihan yaitu kualitas atau kuantitas.
Secara administratif seharusnya tidak mengenal dikotomisasi antara sekolah negeri dan swasta tetapi dalam kenyataannya memang sekolah swasta perlu kerja lebih keras dalam menjaring calon siswa. Kepala sekolah ataupun guru yang bertugas promosi dituntut lebih sering “blusukan” ke setiap SMP-SMP guna mempromosikan keunggulan sekolahnya masing-masing, tentunya dengan metode atau cara-cara yang tidak biasa karena kondisi sosial ini yang terkait dengan wabah covid 19. Ibarat pedagang yang menawarkan barang dagangan, tentunya promosi sekolah juga harus dikemas semenarik mungkin sehingga mendapat perhatian dari konsumen untuk mau membelinya. Masih kuatnya persepsi masyarakat terhadap sekolah negeri sebagai pilihan utama membuat sekolah swasta harus menerima muntahan calon siswa yang tidak ke terima disekolah negeri.
Berbeda dengan sekolah negeri yang lebih mengedepankan kualitas dalam menseleksi calon peserta didiknya, indikator itu dapat dilihat dengan adanya standarisasi nilai yang ditetapkan. Sedangkan sekolah swasta lebih berorientasi kepada kuantitas untuk memperlancar operasional sekolah. Asumsi yang dibangun adalah dengan semakin banyak siswa otomatis akan menunjang kepada kelancaran operasional sekolah yang termasuk didalamnya meliputi kelengkapan sarana prasarana siswa, bangunan sekolah yang layak, ketersediaan laboratorium IPA, komputer, internet, bahasa dsb.
Suasana akan berbeda apabila sekolah kekurangan siswa atau bahkan tidak ada siswa sama sekali, tidak hanya menghambat proses KBM tetapi juga pada sekolah, secara perlahan akan gulung tikar dan ujungnya akan mengancam tingkat kesejahteraan tenaga pendidik dan kependidikan dalam menjalankan tugasnya. Terlebih sekolah swasta yang “hidupnya” masih mendapatkan subsidi dari sana-sini, keberadaan siswa secara proporsional akan mempertahankan eksistensi lembaga atau sekolah itu sendiri.
Untuk itu pemerintah (kemendiknas) juga dituntut bersikap adil ke semua sekolah tanpa menbedakan dan mendikotomisasi antara sekolah negeri dan swasta, unggulan dan non unggulan atau antar sesama sekolah menengah atas dan kejuruan. Karena pada hakekatnya semua sekolah dalam menjalankan tujuan pendidikan adalah sama untuk mencerdaskan kehidupan bangsa sebagaimana tercantum dalam muqadimah UUD 45 serta memanusiakan manusia dengan pelantara ilmu pengetahuan. Pemerintah seharusnya bertindak tidak hanya sebagai fasilitator tetapi juga legislator yang dapat mendorong kepada semua anak bangsa untuk mendapatkan hak asasinya dalam mengeyam pendidikan yang layak sampai wajib belajar 12 tahun.
Perkara teknis dan keunikan sekolah biarkanlah sekolah masing-masing yang menampilkan karakteristik dan identitasnya sendiri, karena pada akhirnya masyarakat juga yang menjadi hakim, menyeleksi, memilih dan menitipkan anak-anaknya kepada lembaga atau sekolah yang dianggap representatif dalam menjalankan dunia pendidikan dengan dilandasi rasa cinta dan tanggung jawab.
Pertanyaan kecil yang terlintas dalam pikiran saya, apa yang bisa di jual dari SMA Pasundan 8 kepada publik dalam kondisi seperti serkarang ? dalam pikiran juga terlintas jawabannya, apa iya sekolah ini tidak punya “barang” yang bisa dijual….ah sudahlah jangan berpikir lagi itu wong PPDB nya juga masih jauh hahaha.…
Penulis, editor artikel pada website SMA Pasundan 8
PPDB SMA Bisaaaa….!!!!